Sabtu malam ini adalah malam takbiran, dimana besok hari minggu
sebagian besar rakyat Indonesia merayakan hari raya Idul Fitri. Aku dan
keluargaku yang walaupun tidak ikut merayakan tetep ikut merasakan euforianya,
rasa antusiasnya, gregetnya, senengnya, hingga ketupat opornya. Dari ketupat
opor inilah muncul cerita Perjalanan Kewarung Mona.
Keluargaku juga punya tradisi menikmati ketupat opor beserta
sambel goreng ati disaat lebaran, namun kita jarang masak opor sendiri, mamaku
biasanya pesan ke “Mona” warung langganan yang letaknya didepan kantor mamaku.
Tepatnya di kota lama Semarang, dekat dengan pasar Johar. Malam ini mama
memintaku menemani menggambil ketupat opor pesannannya di warung Mona ,
langsung cuuus kita berangkat berdua. Sekarang pukul setengah tujuh malam, kota
semarang terasa sangat sepi.. tidak seperti hari biasa. Aku melihat sekeliling
jalan, berfikir, “pada kemana ya kira-kira warga semarang saat ini? Mungkin
sedang berkumpul dengan keluarga kali ya..” sambil senyum-senyum.. nggak tau,
rasanya ikut seneng aja sama hari lebaran. Tiba-tiba mama ngajak mampir dulu ke
Indomart, kita masuk dan memilih-milih barang serta melihat-lihat diskon,
tiba-tiba aku berfikr, dimalam takbiran gini ya ada juga yang tetep kerja ya...
[*sombong
mentang-mentang udah libur dari kamis, dan baru masuk lagi minggu depan. hee] entah
kenapa aku jadi merasa bersimpati dan bahkan kasihan kepada mereka *duh lagi
lebay nih hati. Selesai menemani mama belanja, kita melanjutkan perjalanan lagi
ke warung Mona , nggak jauh dari Indomaret aku melihat lagi dipinggir jalan
orang yang masih bekerja, seorang pemulung yang masih bawa tas kerjanya (karung
berisi barang-barang). Eemm.. bapaknya tau nggak ya kalau besok itu lebaran,
bapaknya merayakan nggak ya, bapaknya punya keluarga nggak ya, apa semua hari
itu sama aja buat bapaknya, mau hari ini, hari itu, hari lebaran, hari nggak
lebaran, sama aja kali ya…
Dan akhirnya sampai ditempat tujuan, warung mona , aku masih
membawa perasaan simpatik dan iba yang sama, warung ini juga masih buka lho
dimalam menjelang lebaran, mereka juga masih kerja padahal mereka muslim. Warung mona ini kecil,dari
papan kayu, dan mona itu nama gadis kecil sekitar umur 5 tahun, anak dari
pemilik warung ini. Waktu aku masuk, udah ada satu pelannggan seorang bapak yang kayaknya
juga baru masuk. Aku lihat mona baru nganterin segelas air putih ke Bapaknya,
dengan ramah si bapak nyapa aku dan mama, “monggo bu, mbak, dahar”, sepontan
aku dan mama jawab “ monggo-monggo pak” sahut si bapak lagi pakai bahasa jawa
yang intinya, Puji Tuhan dapet nasi berkat, tadi dikasih orang. Aku hanya
tersenyum kepada bapak itu, perkataan bapak itu membuatku menjadi memperhatikan
sibapak dengan lebih detail dari atas kebawah, bapaknya kelihatan lahaaap
banget makan nasi berkat itu, ku tengok diluar warung, ada sepeda tua yang
dibelakangnya dipasang box es cream. Ooo.. bapaknya itu penjual es cream
keliling. Si bapak kewarung mona cuma pesen air putih. Aku nggak tahu itu beli
atau gratis.. Setelah selesai
dengan transaksi opor ayam, kami cus pulang, diperjalanan pulang mama ngajak mampir dulu ke atm bank jateng di jalan
pemuda, disitu aku melihat sepasang satpam yang sedang bertugas. Kudengar si
bapak itu nyannyi gajelas keras banget, aku antara geli dan kasian juga, aku
berpikir atau lebih tepatnya berimajinasi.. Mungkin si bapak sebenernya juga
pingin ikut malam takbiran sama keluarga, tapi apa daya, dapur harus tetep
ngebul, dan salah satu cara untuk mengurangi kekecewaannya adalah bernyanyi,
mungkin dengan bernyanyi pekerjaan terasa lebih ringan dan hati terasa lebih
damai.
Disini aku mendapatkan pelajaran bahwa, setiap orang merayakan hari raya dengan cara dan kesempatannya masing-masing, dibalik orang-orang yang aku temui ini banyak masyarakat yang salah persepsi dengan esensi hari raya, yang semestinya hari penting antara kita
dengan Tuhan, malah menjadi hari foya-foya, ngehabisin uang, pesta pora, ajang
pamer, seolah-olah menjadi hari wajib seneng-seneng dan kita jadi punya ‘’standar’’
sendiri untuk hari raya itu, kalau nggak memenuhi ‘’standar’’ jadi gampang
sedih dan mengeluh yang intinya nggak bersyukur. Karena lingkungan sekitar dan media yang
euforianya begitu besar, yang
seolah-olah menciptakan “standar umum” hari raya, dan itu membuat orang yang
nggak mendapat kesempatan merayakan seperti itu jadi sedih, iri, mengasihani
diri sendiri, dll.
Bersyukurlah kita bisa merayakan hari raya, nggak mesti
harus sama dengan yang di tivi, nggak mesti harus sama dengan posting
temen-temen di instagram, dengan sederhana aja seharusnya kita bisa tetep
bahagia. Inget essensinya! Berdoa dan bersyukurlah, rayakan untuk Tuhan, bukan
untuk manusia atau untuk memuaskan hati kita sendiri, apalagi cuma untuk
posting dimedia sosial.
tulisan ini aku tulisan dimalam takbiran, tapi baru aku post sekarang, semoga ada manfaatnya. Good day guys!
No comments:
Post a Comment