Sunday, July 30, 2017

Perjalanan kewarung Mona



Sabtu malam ini adalah malam takbiran, dimana besok hari minggu sebagian besar rakyat Indonesia merayakan hari raya Idul Fitri. Aku dan keluargaku yang walaupun tidak ikut merayakan tetep ikut merasakan euforianya, rasa antusiasnya, gregetnya, senengnya, hingga ketupat opornya. Dari ketupat opor inilah muncul cerita Perjalanan Kewarung Mona.

Keluargaku juga punya tradisi menikmati ketupat opor beserta sambel goreng ati disaat lebaran, namun kita jarang masak opor sendiri, mamaku biasanya pesan ke “Mona” warung langganan yang letaknya didepan kantor mamaku. Tepatnya di kota lama Semarang, dekat dengan pasar Johar. Malam ini mama memintaku menemani menggambil ketupat opor pesannannya di warung Mona , langsung cuuus kita berangkat berdua. Sekarang pukul setengah tujuh malam, kota semarang terasa sangat sepi.. tidak seperti hari biasa. Aku melihat sekeliling jalan, berfikir, “pada kemana ya kira-kira warga semarang saat ini? Mungkin sedang berkumpul dengan keluarga kali ya..” sambil senyum-senyum.. nggak tau, rasanya ikut seneng aja sama hari lebaran. Tiba-tiba mama ngajak mampir dulu ke Indomart, kita masuk dan memilih-milih barang serta melihat-lihat diskon, tiba-tiba aku berfikr, dimalam takbiran gini ya ada juga yang tetep kerja ya... [*sombong mentang-mentang udah libur dari kamis, dan baru masuk lagi minggu depan. hee] entah kenapa aku jadi merasa bersimpati dan bahkan kasihan kepada mereka *duh lagi lebay nih hati. Selesai menemani mama belanja, kita melanjutkan perjalanan lagi ke warung Mona , nggak jauh dari Indomaret aku melihat lagi dipinggir jalan orang yang masih bekerja, seorang pemulung yang masih bawa tas kerjanya (karung berisi barang-barang). Eemm.. bapaknya tau nggak ya kalau besok itu lebaran, bapaknya merayakan nggak ya, bapaknya punya keluarga nggak ya, apa semua hari itu sama aja buat bapaknya, mau hari ini, hari itu, hari lebaran, hari nggak lebaran, sama aja kali ya…

Dan akhirnya sampai ditempat tujuan, warung mona , aku masih membawa perasaan simpatik dan iba yang sama, warung ini juga masih buka lho dimalam menjelang lebaran, mereka juga masih kerja padahal mereka muslim. Warung mona ini kecil,dari papan kayu, dan mona itu nama gadis kecil sekitar umur 5 tahun, anak dari pemilik warung ini. Waktu aku masuk, udah ada satu pelannggan seorang bapak yang kayaknya juga baru masuk. Aku lihat mona baru nganterin segelas air putih ke Bapaknya, dengan ramah si bapak nyapa aku dan mama, “monggo bu, mbak, dahar”, sepontan aku dan mama jawab “ monggo-monggo pak” sahut si bapak lagi pakai bahasa jawa yang intinya, Puji Tuhan dapet nasi berkat, tadi dikasih orang. Aku hanya tersenyum kepada bapak itu, perkataan bapak itu membuatku menjadi memperhatikan sibapak dengan lebih detail dari atas kebawah, bapaknya kelihatan lahaaap banget makan nasi berkat itu, ku tengok diluar warung, ada sepeda tua yang dibelakangnya dipasang box es cream. Ooo.. bapaknya itu penjual es cream keliling. Si bapak kewarung mona cuma pesen air putih. Aku nggak tahu itu beli atau gratis.. Setelah selesai dengan transaksi opor ayam, kami cus pulang, diperjalanan pulang mama  ngajak mampir dulu ke atm bank jateng di jalan pemuda, disitu aku melihat sepasang satpam yang sedang bertugas. Kudengar si bapak itu nyannyi gajelas keras banget, aku antara geli dan kasian juga, aku berpikir atau lebih tepatnya berimajinasi.. Mungkin si bapak sebenernya juga pingin ikut malam takbiran sama keluarga, tapi apa daya, dapur harus tetep ngebul, dan salah satu cara untuk mengurangi kekecewaannya adalah bernyanyi, mungkin dengan bernyanyi pekerjaan terasa lebih ringan dan hati terasa lebih damai.

Disini aku mendapatkan pelajaran bahwa, setiap orang merayakan hari raya dengan cara dan kesempatannya masing-masing, dibalik orang-orang yang aku temui ini banyak masyarakat yang salah persepsi dengan esensi hari raya, yang semestinya hari penting antara kita dengan Tuhan, malah menjadi hari foya-foya, ngehabisin uang, pesta pora, ajang pamer, seolah-olah menjadi hari wajib seneng-seneng dan kita jadi punya ‘’standar’’ sendiri untuk hari raya itu, kalau nggak memenuhi ‘’standar’’ jadi gampang sedih dan mengeluh yang intinya nggak bersyukur.  Karena lingkungan sekitar dan media yang euforianya begitu besar,  yang seolah-olah menciptakan “standar umum” hari raya, dan itu membuat orang yang nggak mendapat kesempatan merayakan seperti itu jadi sedih, iri, mengasihani diri sendiri, dll.

Bersyukurlah kita bisa merayakan hari raya, nggak mesti harus sama dengan yang di tivi, nggak mesti harus sama dengan posting temen-temen di instagram, dengan sederhana aja seharusnya kita bisa tetep bahagia. Inget essensinya! Berdoa dan bersyukurlah, rayakan untuk Tuhan, bukan untuk manusia atau untuk memuaskan hati kita sendiri, apalagi cuma untuk posting dimedia sosial.


tulisan ini aku tulisan dimalam takbiran, tapi baru aku post sekarang, semoga ada manfaatnya. Good day guys!



No comments:

Post a Comment